Senin, 13 Februari 2012

PERMASALAHAN KEMASYARAKATAN DI PINGGIRAN MUARA LAPANGAN KERJA


Jika anda pernah berkunjung atau hanya sekedar  lewat ke Jalan Panyawungan yang  tepat di samping bundaran tol Cileunyi, anda akan menyusuri jalanan berlubang (untuk tidak menyatakan sungai tanpa air) yang di kiri-kanannya adalah industri-industri dan gudang-gudang distribusi perusahaan mapan nasional maupun perusahaan multinasional. 

Pada jam-jam tertentu, jalanan ini seperti menjadi aliran manusia yang hilir mudik untuk masuk kerja.  Para pekerja perempuan mendominasi gerbang industri-industri manufaktur, sedang para pekerja laki-laki kebanyakan bekerja di gudang-gudang distribusi dan di industri berat. Entah berapa ribu orang tenaga kerja yang terserap oleh perusahaan-perusahaan yang berda di sepanjang Jalan Panyawungan. Ya betul, perusahaan-perusahaan tersebut telah menjadi temali rejeki bagi ribuan masyarakat Indonesia.

Setelah berjalan kira-kira sejauh 900 meter, anda akan memasuki sebuah perkampungan besar yang lingkungannya masih cukup terjaga bila dibandingkan dengan perkampungan pinggiran industri di daerah lain. Disaat orang-orang berangkat membanjiri tempat kerja yang tidak jauh lokasinya, warga di sini terlihat lebih santai seperti tidak ada aktifitas yang berarti. Terlihat banyak usia produktif terutama dari para pemuda hanya memadati pos –pos ojeg yang ada di daerah tersebut. 

Berawal dari permasalahan sederhana ini, penulis ingin lebih mengetahui dinamika sosial dan permasalahan sosial yang ada di masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh kehadiran industri-industri yang berdiri di lingkungan tersebut versi pandangan dan data sederhana yang didapat penulis.

Menurut asumsi penulis, Industrialisasi yang dibangun di lingkar Cileunyi-Rancaekek pada awal tahun 90-an bukan saja mempengaruhi perubahan fisik dan kemajuan ekonomi di lingkungan tersebut, namun pengaruhnya juga masuk kedalam sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut. Di antara dinamika sosial dan perubahan pranata sosial yang penulis temukan adalah maraknya konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Adapun beberapa penyebab yang penulis temukan adalah sebagai berikut:


1)      Kurang Terserapnya Masyarakat Lokal Sebagai Tenaga Kerja

Kurang terserapnya tenaga lokal sebagai tenaga kerja di lingkungan kerja di wilayah sendiri menjadi faktor pemicu ketidakharmonisan antara masyarakat lokal, pihak industri, dan masyarakat pendatang. Dapat dimengerti jika pihak industri enggan untuk memakai tenaga lokal, selain kurangnya motivasi kerja karena merasa sebagai orang daerah, tenaga lokal juga sering kedapatan melakukan kecurangan dan praktek-praktek licik yang merugikan pihak industri. Dari oknum-oknum pekerja lokal itulah, calon atau pekerja lokal aktif pun terkena imbasnya.

Pilihan industri untuk menggunakan orang luar daerah menjadi pemicu kecemburuan bagi masyarakat lokal. Banyaknya pekerja luar daerah, ternyata bukan hanya kesalahan dari para oknum-oknum pekerja lokal yang menjadikan stigma negatif perusahaan terhadap masyarakat lokal, ternyata banyak oknum bak dari kalangan masyarakat baik itu dari pemerintahan lokal, aparat lokal, maupun masyarakat biasa yang melakukan praktek percaloan tenaga kerja, salah satu contoh kecurangan yang ditemui adalah memasukan orang luar daerah menjadi anggota keluarga dalam kartu keluarga masyarakat lokal sehingga pendatang dengan mudah membuat identitas sebagai warga lokal. Industri yang mungkin telah menjatahkan kuota untuk orang lokal dimanfaatkan oleh calo-calo tenaga kerja.

Kurang terserapnya masyarakat lokal sebagai tenaga kerja di lingkuannya sendiri terlihat dari statistik penduduk masyarakat RW. 03 Kampung Panyawungan dan RW. 02 Kampung Kara yang memiliki beban pengangguran 62 % dari jumlah penduduk usia produktif. Kecemburuan-kecemburuan semacam itu yang memicu demo dan perusakan pada PT. STG pada tahun 1997 dan perang antar warga Kampung Panyawungan dan warga perumahan Bumi Cipacing Permai pada tahun 1998. Kedua peristiwa tersebut adalah peristiwa besar di samping peristiwa-peristiwa kecil yang terus terjadi hingga saat ini.

2)      Banyaknya Praktek Premanisme

Praktek premanisme sangat menjamur di lingkungan sub-urban seperti di lingkungan industri yang ada di Jl. Kampung Panyawungan. Praktek premanisme yang dapat saya amati seperti praktek pencaloan tenaga kerja, pengelolaan limbah industri yang dipegang oleh perorangan yang memiliki pengaruh, pemungutan liar para pedagang kaki lima, pemungutan liar parkir kendaraan jemputan.

Saya bahas pengelolaan limbah industri yang menurut saya menjadi pemicu konflik yang cukup dahsyat. “Tidak ada barang yang tak jadi uang”, sepenggal kata itu mungkin yang tepat untuk mengawali pembahasan. Limbah industri, ternyata mampu mendatangkan rupiah yang sangat besar terutama limbah yang dihasilkan oleh industri tekstile, karena besarnya rupiah yang diasilkan oleh pengelolaan limbah industri ini, tidak jarang baik perorangan maupun kelompok mencoba mendapatkan hak tunjuk oleh perusahaan sebagai pengelola. Untuk mendapatkan hak tersebut, tidak jarang menimbulkan konflik yang memobilisasi massa. Contoh yang baru-baru ini terjadi adalah perebutan limbah tekstil PT. Gistex antara kelompok yang mengatasnamakan Karang Taruna RW. 03 Kampung Panyawungan dan Pondok Pesantren Bustanul Wildan Cileunyi. Konflik ini cukup memanas sehingga terjadi mobilisasi massa dari kedua belah pihak, meskipun konflik fisik tidak terjadi, namun konflik emosional dan konflik intelektual atau perang dingin terus berlangsung di antra kedua belah pihak.

Sayangnya, pihak industri lebih tertarik memberikan pengelolaan limbahnya terhadap perseorangan yang memiliki kekuatan untuk memberikan rasa aman pada industri seperti preman dan oknum aparat. Padahal jika pengelolaan tersebut diberikan kepada lembaga profesioanal yang ada dimasyarakat dan dikelola secara prfesioanl akan mampu mengurangi beban pengangguran masyarakat sekitar dan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat sekitar sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial masyarakat serta dapat menciptakan keharmonisan lingkungan.

3)      Meningkatnya Angka Perceraian dan Sistem Sosial yang Maskulin

Industri sekitar yang menyerap tenaga perempuan hampir 90 persen, dan rata-rata jam kerja selama delapan jam perhari, menjadikan wilayah tersebut sepi dari dinamika keperempuanan seperti kegiatan Posyandu dan kegiatan ibu-ibu PKK lainya. Di lingkungan tersebut hampir tidak pernah melibatkan perempuan baik kegiatan rutinan maupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan struktur pemerintah (RT/RW) setempat. Hal ini terlihat dari tidak adanya unsur perempuan dalam struktur organisasi-organisasi kegiatan lokal seperti RT, RW, Panitia Hari Besar Islam (PHBI), Karang Taruna, dan lainnya.

Namun, di balik kurang atau tidak adanya warna perempuan dalam kehidupan pranata sosial di lingkungan masyarakat, ternyata keberadaan perempuan sangat kuat pengaruhnya di dalam rumah tangga. Kekuatan pengaruh perempuan dalam lingkup rumah tangga ini disebabkan karena di lingkungan tersebut banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung keluarga dan adanya pertukaran peran dalam rumah tangga. Ketimpangan dalam hal penghasilan ini menurut ketua RW. 03 Kampung Panyawungan adalah sebab dominannya perceraian warganya, tercatat selama tahun 2012 sudah ada empat pasangan yang meminta surat keterangan perceraian.

4)      Antara Jalanan Rusak dan CSR

“Jangankan CSR yang entah bagaimana prosesnya jalanan yang seharusnya menjadi fasilitas umum aja dirusak kenyamanannya oleh mereka”, mengutip curhatan salah satu aktifis dilingkungan tersebut.

Mohamad Romdoni
Program Director at Kelompok Usaha Seuweu Putu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar