Selasa, 07 Februari 2012

Problematika Budidaya Ikan Berkumis

Gerakan Mina Politan yang selalu digemborkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan visi menjadi penghasil ikan  terbesar di dunia pada tahun 2015, menjadi efouria tersendiri bagi seluruh masyarakat perikanan –terutama perikanan budidaya-.
          Banyak masyarakat tertarik untuk terjun pada usaha budidaya ikan darat baik secara serius maupun coba-coba. Ketertarikan masyarakat ini juga ditunjang oleh penemuan varietas unggulan seperti lele sangkuriang, lele python, dan lain-lain.  Iming-iming keuntungan besar dalam budidaya perikanan juga menjadi magnet booming-nya perikanan kita.
Dinas dan intansi terkait mungkin boleh berbangga hati dengan statistik meningkatnya pelaku perikanan dan produksi ikan saat ini yang megalami peningkatan. Namun kenyataan lapangan ternyata lain, peningkatan statistik pelaku maupun produksi ikan berasal dari kebanyakan mereka yang ingin mencoba, setelah satu-dua kali mencoba, kebanyakan mereka memilih untuk berhenti menggeluti budidaya perikanan.

         Banyak faktor yang menyebabkan  tidak berlanjutnya para pelaku budidaya baik yang telah mengeluarkan modal besar maupun kecil. Faktor yang dominan diantaranya ketimpangan harga benih dan harga jual komoditas daging, harga pakan yang tinggi, dan permainan tengkulak-tengkulak nakal.

          Indonesia dengan potensi luas danau  630 hektar dan sungai 5,9 juta hektar seharusnya mampu mengungguli Vietnam dalam hal produksi ikan budidaya —terutama ikan patin dan lele—. Namun kenyataannya, Indonesia jauh tertinggal dalam  hal produksi patin dan lele, dengan potensi kolam yang dimiliki di atas, Indonesia hanya mampu memproduksi 225.000 ton patin dan 270.600 ton lele. Vietnam yang hanya mempunyai 5.400 hektar total luas kolam darat, mampu memproduksi sebanyak 1,3 juta ton ikan patin pada tahun 2010. Masalah lain juga terjadi seperti ketimpangan untuk komoditas ikan lele. Harga lele di Kalimantan Barat Rp. 25.000 per kg, sedangkan harga lele dari Malaysia berada pada kisaran 10.000 – 15.000 per kg.

         Ironisnya, di tengah seruan visi menjadi penghasil ikan terbesar di dunia, ternyata data dari KKP mencatat bahwa kita masih mengimpor daging irisan (fillet) patin sebanyak 900  ton atau setara dengan 2700 ton ikan patin. Dengan demikian, harapan bapak Fadel agar produk patin dan lele Indonesia menembus pasar Uni Eropa sebagai mana yang ia sampaikan pada Ben Knapen yang merupakan Menteri Urusan Eropa dan Kerja Sama Internasional Kerajaan Belanda masih merupakan angan.

Aksi Serius, Bukan Hanya Wacana

Untuk merealisasikan visi KKP dan keinginan kita semua untuk sejahtera dalam perikanan, kiranya perlu kerja keras dari seluruh pihak secara berkesinambungan. Kenaikan produksi sebesar 317 % akan merupakan sebuah angka hayalan jika tidak dibarengi oleh skema kerja untuk mengacu kearah yang kita tuju. Pembuatan sebuah grand desain pembangunan perikanan dengan mengacu pada analisis permasalahan yang ditemukan di lapangan dengan solusi  yang mungkin ditempuh adalah syarat mutlak pembuatana desain pembangunan.

Pemerintah juga perlu memperhatikan klaster industri dalam hal peningkatan perikanan budidaya. Bantuan pemerintah yang bersifat pemahaman akan klaster industri dan membantu menciptakan mekanisme pasar yang sehat, akan dirasa lebih signifikan dibandingkan bantuan teknis dan bantuan materi.

Baru-baru ini aksi nyata itu mulai terlihat, perekrutan dan pengukuhan penyuluh swadaya perikanan diharapakan dapat menjadi ujung tombak dari grand desain untuk kemajuan perikanan kita. Ini merupakan langkah yang signifikan di tengah kurangnya penyuluh PNS dalam bidang perikanan. Diharapkan penyuluh swadaya mampu lebih memahami situasi dan kondisi perikanan baik dari para pelaku  utama maupun pelaku usaha perikanan.

Semoga iklim politik yang tidak menentu tidak terlalu mempengaruhi semangat dan kerja keras para petani dilapangan.

Mohamad Romdoni
Program Director Seuweu Putu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar